Surat Apostolik Paus Fransiskus “Ad Theologiam Promovendam” (Untuk Memajukan Teologi)

Saudara Dina
6 min readDec 4, 2023

--

SURAT APOSTOLIK
DALAM BENTUK “MOTU PROPRIO”
DARI SRI PAUS FRANSISKUS

Ad theologiam promovendam (untuk memajukan teologi)

DENGAN INI DITETAPKAN STATUTA BARU AKADEMI TEOLOGI KEPAUSAN

  1. Untuk memajukan teologi pada masa depan, kita tidak dapat membatasi diri hanya dengan mengulang kembali rumusan dan skema masa lalu secara abstrak. Dipanggil untuk menafsirkan masa kini secara profetis dan menggali rute-rute baru bagi masa depan, dalam terang Wahyu, teologi harus berhadapan dengan transformasi budaya yang mendalam, menyadari bahwa: “Apa yang kita alami bukanlah sekadar suatu zaman perubahan, tetapi perubahan zaman” (Pidato kepada Kuria Romawi pada 21 Desember 2019).
  2. Akademi Teologi Kepausan, yang muncul pada awal abad ke-18 di bawah naungan Klemens XI, pendahulu saya, dan secara kanonik didirikan olehnya dengan bulla Inscrutabili pada 23 April 1718, sepanjang eksistensinya yang sudah berlangsung berabad-abad, telah secara konsisten mewujudkan kebutuhan untuk menempatkan teologi demi pelayanan Gereja dan dunia, mengubah strukturnya sendiri bila diperlukan dan memperluas tujuannya: dari awalnya sebagai tempat formasi teologi bagi para rohaniwan dalam konteks di mana institusi lain kurang dan tidak memadai untuk tujuan tersebut, menjadi kelompok cendekiawan yang dipanggil untuk menyelidiki dan memperdalam topik-topik teologis yang memiliki relevansi tertentu. Pembaruan Statuta, yang diinginkan oleh Para Pendahulu Saya, telah menandai dan mendorong proses tersebut: ingatlah Statuta yang disetujui oleh Gregorius XVI pada tanggal 26 Agustus 1838 dan Statuta yang disetujui oleh Santo Yohanes Paulus II dengan Surat Apostolik Inter munera Academiarum pada tanggal 28 Januari 1999.
  3. Setelah hampir lima dekade, tibalah saatnya untuk meninjau kembali norma-norma ini, agar lebih sesuai dengan misi yang dituntut zaman kita kepada teologi. Sebuah Gereja yang sinodal, misioner dan “terbuka” hanya dapat berjalan seiring dengan teologi yang “terbuka.” Seperti yang saya tuliskan dalam Surat kepada Kanselir (Rektor) Universitas Katolik Argentina, yang ditujukan kepada para dosen dan mahasiswa teologi: “Jangan puas dengan teologi meja. Tempat refleksi Anda harus berada di garis depan. […] Bahkan teolog yang baik, seperti gembala yang baik, juga mencium aroma dari umat dan jalanan dan, melalui refleksi mereka, menuangkan minyak dan anggur pada luka-luka manusia.” Keterbukaan terhadap dunia, terhadap manusia dalam kenyataan eksistensialnya, dengan segala permasalahannya, luka-lukanya, tantangannya, dan segala potensinya, tidak boleh, demikian direduksi menjadi sikap “taktis”, yang secara ekstrinsik mengadaptasi konten yang kini sudah terkristalisasi, ke dalam situasi baru, melainkan harus mendorong teologi untuk memikirkan kembali epistemologi dan metodologinya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Prolog dari Konstitusi Apostolik Veritatis gaudium.
  4. Karena itu, refleksi teologis dipanggil untuk berbelok kepada suatu titik balik, mengubah paradigmanya menuju “revolusi budaya yang berani” (Ensiklik Laudato si’, 114) yang menjadikannya, pertama-tama dan terutama, menjadi teologi yang pada dasarnya kontekstual, yang mampu membaca dan menafsirkan Injil dalam kondisi di mana pria dan wanita menjalani keseharian mereka, dalam berbagai lingkungan geografis, sosial dan budaya yang berbeda-beda dan memiliki, sebagai arketipenya, Penjelmaan Logos kekal, yang masuk ke dalam budaya, cara pandang dunia, dan tradisi agama suatu bangsa. Berangkat dari sini, teologi tidak bisa berkembang kecuali dalam budaya dialog dan pertemuan antara berbagai tradisi dan berbagai pengetahuan yang berbeda, antara denominasi Kristen yang berbeda dan agama yang berbeda, berhadapan secara terbuka dengan semua orang, baik yang beriman maupun tidak. Kebutuhan akan dialog memang intrinsik bagi umat manusia dan seluruh ciptaan dan merupakan tugas khusus teologi untuk menemukan “jejak Tritunggal yang menjadikan kosmos tempat kita hidup sebagai ‘rangkaian relasi’ di mana ‘setiap makhluk hidup cenderung menuju yang lain’”(Konstitusi Apostolik Veritatis gaudium, Prolog, 4a).
  5. Dimensi relasional ini mencirikan dan mendefinisikan, dari sudut pandang epistemik, status teologi, yang didesak untuk tidak mengurung diri dalam referensialitasnya sendiri, yang mengarah pada isolasi dan ketiadaan arti, tetapi untuk memahami dirinya sebagai bagian terbenam dalam rangkaian relasi, terutama dengan disiplin ilmu dan pengetahuan lainnya. Inilah pendekatan transdisipliner, yaitu antar-disiplin dalam arti kuat, berbeda dengan multidisipliner, yang dimengerti sebagai interdisiplin dalam arti yang lemah. Pendekatan tersebut tentu saja memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang objek studi dengan mempertimbangkannya dari berbagai sudut pandang, namun tetap bersifat komplementer dan terpisah. Sebaliknya, pendekatan transdisipliner harus dipikirkan “sebagai penempatan dan fermentasi dari semua pengetahuan dalam ruang Cahaya dan Kehidupan yang ditawarkan oleh Hikmat yang berasal dari Wahyu Allah” (Konstitusi Apostolik Veritatis gaudium, Prolog, 4c). Karena itu, tugas berat bagi teologi adalah mampu memanfaatkan kategori baru yang dihasilkan oleh disiplin ilmu lain, untuk menembus dan mengomunikasikan kebenaran-kebenaran iman serta menyampaikan ajaran Yesus dalam bahasa-bahasa masa kini, dengan orisinalitas dan kesadaran kritis.
  6. Dialog dengan disiplin ilmu lain tentu saja mengandaikan dialog di dalam komunitas gerejawi dan kesadaran akan dimensi sinodal dan komunal yang penting dalam melakukan teologi: seorang teolog harus hidup secara langsung dalam persaudaraan dan persekutuan, dalam pelayanan pemberitaan Injil dan untuk menyentuh hati semua orang. Seperti yang saya katakan kepada para teolog dalam Pidato kepada para Anggota Komisi Teologi Internasional, pada 24 November 2022: “Karena itu, sinodalitas gerejawi mendorong para teolog untuk melakukan teologi secara sinodal, meningkatkan kemampuan saling mendengarkan, berdialog, membedakan dan mengintegrasikan keberagaman serta berbagai pendapat dan masukan di antara mereka.” Karena itu, penting agar ada tempat-tempat, termasuk secara institusional, di mana dapat dihayati dan dialami kolegialitas dan fraternitas teologis.
  7. Akhirnya, perhatian yang tepat-perlu terhadap status ilmiah teologi tidak boleh mengaburkan dimensi kearifannya, seperti yang dengan jelas ditegaskan oleh Santo Thomas Aquinas (Lih. Summa theologiae I, q. 1, a. 6). Karena itu, Beato Antonio Rosmini memandang teologi sebagai ungkapan luhur dari “kasih intelektual,” seraya meminta agar budi kritis dari semua pengetahuan diarahkan pada Gagasan Kebijaksanaan. Kini, Gagasan Kebijaksanaan itu secara intrinsik mengikat Kebenaran dan Kasih dalam “lingkaran yang solid,” sehingga mustahil untuk mengetahui kebenaran tanpa mempraktikkan kasih: “karena yang satu ada dalam yang lain dan tidak satu pun dari keduanya ada di luar yang lain. Sehingga siapa pun yang memiliki Kebenaran ini, ia juga memiliki Kasih yang melengkapinya, dan siapa pun yang memiliki Kasih ini memiliki juga Kebenaran yang melengkapinya”(Lih. Degli studi dell ‘Autore, nn. 100–111). Budi ilmiah harus memperluas batasannya ke arah kebijaksanaan, agar tidak menjadi tidak manusiawi dan miskin. Dengan cara ini, teologi dapat berkontribusi pada perdebatan saat ini tentang “memikirkan ulang pemikiran,” dengan menunjukkan dirinya sebagai pengetahuan kritis yang sejati karena merupakan pengetahuan kebijaksanaan, bukan abstrak dan ideologis, melainkan spiritual, yang diolah dengan berlutut, dikandung dalam penyembahan dan doa; sebuah pengetahuan transendental yang, pada saat yang sama, peka terhadap suara rakyat, karena itu merupakan teologi “populer,” yang penuh belas kasihan ditujukan kepada luka-luka terbuka pada kemanusiaan dan ciptaan, serta di dalam lipatan sejarah manusia, yang kepadanya dinubuatkan harapan akan pemenuhan terakhir.
  8. Inilah “cap” pastoral yang harus diambil teologi secara keseluruhan, dan bukan hanya dalam ranah khususnya: tanpa mempertentangkan teologi dan praktek, refleksi teologis didorong untuk berkembang dengan metode induktif, yang berangkat dari berbagai konteks dan situasi konkret di mana umat terlibat, membiarkan dirinya benar-benar dipertanyakan oleh realitas, untuk menjadi penggugah kesadaran akan “tanda-tanda zaman” dalam pewartaan peristiwa penyelamatan Allah-agape, yang mengungkapan diri-Nya dalam Yesus Kristus. Karena itu, pertama-tama perlu memprioritaskan pengetahuan dari akal sehat manusia, yang secara faktual merupakan tempat teologis, di mana banyak citra Allah berada, yang seringkali tidak sesuai dengan wajah Kristen Allah, yang hanya dan selalu adalah kasih. Teologi ada demi melayani pewartaan Injil dan penyampaian iman Gereja, agar iman menjadi budaya, yaitu ethos bijaksana umat Allah, sebuah tawaran keindahan yang manusiawi dan memanusiakan bagi semua.
  9. Menghadapi misi baru teologi ini, Akademi Teologi Kepausan diminta untuk mengembangkan, dalam perhatian konstan pada sifat ilmiah refleksi teologis, dialog transdisipliner dengan berbagai disiplin ilmu lainnya, filsafat, humaniora dan seni, serta dengan mereka yang beriman maupun yang tidak, dengan pria dan wanita dari berbagai denominasi Kristen yang berbeda dan agama-agama yang berbeda. Hal ini dapat dicapai dengan membentuk komunitas akademik iman dan studi bersama, yang menjalin jaringan hubungan dengan institusi-institusi formatif, pendidikan dan budaya lainnya, serta mampu menembus, dengan orisinalitas dan semangat imajinasi, ke dalam tempat-tempat eksistensial pengembangan pengetahuan, profesi-profesi dan komunitas-komunitas Kristen.
  10. Berkat Statuta baru ini, Akademi Teologi Kepausan dengan demikian akan lebih mudah mengejar tujuan-tujuan yang dituntut zaman sekarang ini. Dengan menyambut dengan senang hati berbagai usulan yang diajukan kepada saya agar menyetujui norma-norma baru ini, dan dengan menurutinya, saya ingin agar lembaga studi unggul ini meningkat dalam hal kualitas, dan karena itu saya menyetujui, berdasarkan Surat Apostolik ini, dan untuk selama-lamanya, Statuta Akademi Teologi Kepausan, yang secara sah telah disusun dan direvisi kembali dan memberinya kekuatan persetujuan Apostolik.

Segala sesuatu yang telah saya tetapkan dalam Surat Apostolik motu proprio ini, saya perintahkan agar berlaku tetap dan abadi, terlepas dari segala sesuatu yang bertentangan.

Diberikan di Roma, di Santo Petrus, pada tanggal 1 November tahun 2023, pada Hari Raya Semua Orang Kudus, dalam tahun kesebelas Kepausan kami.

FRANSISKUS

Diterjemahkan dari teks terjemahan berbahasa Inggris (tidak resmi) dengan perbandingan teks resmi berbahasa Italia.

--

--

No responses yet